Page 4 - ppkn1
P. 4
2) Kebangsaan Persatuan Indonesia
3) Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
rumusan pancasila menurut Dr supomo :
1) Persatuan
2) Kekeluargaan
3) Keseimbangan lahir dan batin
4) Musyawarah
5) Keadilan rakyat
rumusan pancasila menurut Ir soekarno:
1) Kebangsaan Indonesia - atau nasionalisme
2) Internasionalisme - atau peri-kemanusiaan
3) Mufakat - atau demokrasi
4) Kesejahteraan sosial
5) Ketuhanan
rumusan pancasila menurut piagam jakarta :
1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2) Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5) Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
.
Piagam Jakarta adalah rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945). Rancangan ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan Badan Penyelidikan Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Piagam ini mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi Pancasila, tetapi pada sila pertama
juga tercantum frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Frasa ini,
yang juga dikenal dengan sebutan "tujuh kata", pada akhirnya dihapus dari Pembukaan UUD 1945 pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yaitu badan yang ditugaskan
untuk mengesahkan UUD 1945. Tujuh kata ini dihilangkan atas prakarsa Mohammad Hatta yang pada
malam sebelumnya menerima kabar dari seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa kelompok nasionalis
dari Indonesia Timur lebih memilih mendirikan negara sendiri jika tujuh kata tersebut tidak dihapus. Pada
tahun 1950-an, ketika UUD 1945 ditangguhkan, para perwakilan partai-partai Islam menuntut agar
Indonesia kembali ke Piagam Jakarta. Untuk memenuhi keinginan kelompok Islam, Presiden Soekarno
mengumumkan dalam Dekret Presiden 5 Juli 1959 (yang menyatakan kembali ke UUD 1945) bahwa
Piagam Jakarta "menjiwai" UUD 1945 dan "merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi
tersebut". Makna dari kalimat ini sendiri terus memantik kontroversi sesudah dekret tersebut dikeluarkan.
Kelompok kebangsaan merasa bahwa kalimat ini sekadar mengakui Piagam Jakarta sebagai suatu
dokumen historis, sementara kelompok Islam meyakini bahwa dekret tersebut memberikan kekuatan
hukum kepada "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta, dan atas dasar ini mereka menuntut pengundangan
hukum Islam khusus untuk Muslim.
Piagam Jakarta kembali memicu perdebatan selama proses amendemen undang-undang dasar pada masa
Reformasi (1999–2002). Partai-partai Islam mengusulkan agar "tujuh kata" ditambahkan ke dalam Pasal
29 UUD 1945, yaitu pasal yang mengatur soal kedudukan agama dalam negara dan kebebasan beragama.
Namun, usulan amendemen dari partai-partai Islam tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas di Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
3